FILSAFAT ILMU

KEBENARAN ATAU TRUTH


2.1 Definisi Kebenaran

    Abbas Hamami dalam Tim Dosen Filsafat UGM (2003 : 135) menguraikan bahwa kata “kebenaran” dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang konkret maupun abstrak. Lebih lanjut Tim Dosen Filsafat UGM (2003 : 135) menguraikan baahwa subjek dikatakan menuturkan suatu kebenaran, hal itu berarti bahwa subjek menuturkan suatu proposisi yang benar (proposisi adalah makna yang dikandung dalam suatu pernyataan). Sesuatu dapat dinyatakan benar apabila subjek menyatakan kebenaran bahwa proposisi yang diuji itu pasti memiliki : kualitas, sifat atau karakteristik, hubungan, dan nilai. Hal itu, karena kebenaran tidak dapat begitu saja terlepas dari kualitas, sifat, hubungan, dan nilai itu sendiri. Adanya berbagai kategori tersebut, maka tidak berlebihan jika pada saat-saat tertentu setiap subjek memilki pengetahuan dan persepsi yang berbeda terhadap sesuatu yang sama.
    Sudarminta (2008 : 127) menguraikan bahwa secara umum kebenaran biasanya dimengerti sebagai kesesuaian antara apa yang dipikirkan dan atau dinyatakan dengan kenyataan yang sesungguhnya. Dalam pengertian ini, kenyataan yang sesungguhnya menjadi tolak ukur penentu penilaian. Kata Yunani unutk kebenaran adalah alettheia. Sebagaimana ditafsirkan oleh Martin Heidegger, pengertian Plato tentang kebenaran sebagai alettheia secara etimologis berarti ‘ketaktersembunyiian adanya” atau “ketersingkapan adanya”. Selama kita masih terkait pada “yang ada” dan tidak masuk pada  “adanya dari yang ada itu”, maka kita belum berjumpa dengan kebenaran, karena “adanya itu masih tersembunyi”. Setelah (ketika) selubung yang menutupi “semua yang ada”  itu disingkapkan sehingga terlihat oleh mata batin kita, maka terbukalah “adanya” atau bertemulah klita dengan kebenaran. Kebenaran disini dimengerti sebagai sesuatu yang terletak pada objek yang diketahui atau pada apa yang dikejar untuk diketahui. Menurut Plato, kebenaran sebagai ketersembunyian adanya itu tidak dapat dicapai manusia selama hidupnya di dunia ini. Berbeda dengan Plato Aristoteles memahami kebenaran lebih memusatkan perhatiannya pada kualitas pernyataan yang dibuat oleh objek penahu ketika ia menegaskan suatu putusan entah secara afirmatif (S itu P) atau negative (S itu bukan P). Ada tidaknya kebenran dalam putusan yang bersifat afirmatif atau negative tergantung pada  apakah putusan yang bersangkutan sebagai pengetahuan dalam diri subjek penahu itu sesuai atau tidak sesuai dengan kenyataan. Di sini kebenaran dimengerti sebagai persesuaian anatar subjek penahu dengan objek yang diketahui. Bagi Aristoteles, subjek yang mengetahui lebih penting dari objek yang diketahui sebagaimana dalam pandangan Plato. Walaupun demikian, bagi Aristoteles pun pengetahuan yang paling benar dan paling luhur baru dimilki kalau subjek penahu (idealitas) dan objek yang diketahui (realitas) itu identik satu sama lain dalam pengetahuan akal budi yang sempurna. Pengertian tentang kebenaran dalam tradisi Aristoteles adalah kebenaran logis dan linguistik proposional.
    Surajio (2008 : 101) bahwa hal kebenaran sesungguhnya memang merupakan tema sentral di dalam filsafat ilmu. Secara umum orang menyadari bahwa tujuan pengetahuan adalah untuk mencapai kebenaran. Problematika pembahasan masalah kebenaran, sama halnya dengan problematika pembahasan tentang pengetahuan, yaitu pembahasan yang mengacu pada tumbuh dan berkembangnya masalah-masalah dalam filsafat ilmu. Apabila orang memberikan prioritas kepada peranan pengetahuan, dan apabila  orang percaya bahwa dengan pengetahuan itu manusia akan menemukan kebenaran dan kepastian, maka mau tidak mau manusia harus berani menghadapi pertanyaan tersebut, sebagai hal yang mendasar dan hal yang mendasari sikap dan wawasannya. Purwadarminta dalam Kamus Bahasa Indonesia memberikan arti bahwa (1) Kebenaran adalah keadaan atau hal dan sebagainya yang benar atau cocok dengan hal atau keadaan yang sesungguhnya. Misalnya: kebenaran berita ini masih saya sangsikan; kita harus berani membela kebenaran dan keadilan, (2) Sesuatu yang benar (sungguh-sungguh ada, betul-betul demikian dan sebagainya. Misalnya: kebenaran-kebenaran yang diajarkan oleh agama, (3) Kejujuran , ketulusan hati, misalnya tidak ada seorang pun yang sangsi akan kebaikan dan kebenaran hatimu, (4) Selalu izin, perkenankan, misalnya: dengan kebenaran yang dipertuan, (5) Jalan kebetulan, misalnya: penjahat itu dapat dibekuk dengan secara kebenaran (kebetulan) saja.
2.2 Sifat Kebenaran
    Abas Hamami Mintaredja dalam Surajiyo (2008:103) menguraikan bahwa “kebenaran” dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang konkret maupun abstrak. Kebenaran tidak terlepas dari kualitas,sifat, hubungan, dan nilai, dengan adanya beberapa kategori tersebut, tidak berlebihan jika pada saatnya setiap subjek yang memiliki pengetahuan akan memiliki persepsi dan pengertian yang amat berbeda satu dengan yang lainya. Dari situlah akan terlihat sifat-sifat kebenaran, dan tergantung dengan berbagai pengetahuan yang dibangun, sebagaimana juga diuraikan oleh Tim Dosen Filsafat UGM Yogyakarta (2003:136), yaitu:
1)    Kebenaran Terkait Kualitas Pengetahuan
Artinya bahwa setiap pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang yang mengetahui suatu objek, ditilik dari jenis pengetahuan yang dibangun, dengan maksud apakah pengetahuan yang dimaksud itu adalah (a) Pengetahuan biasa, (b) Pengetahuan Ilmiah, (c) Pengetahuan Filsafat, (d) Pengetahuan kebenaran agama. Penjelasan pengetahuan-pengetahuan tersebut adalah:
(a)    Pengetahuan Biasa
Pengetahuan biasa juga disebut common sense knowledge, pengetahuan ini memiliki inti kebenaran yang sifatnya subjektif, artinya amat terkait pada subjek yang mengenal. Dengan demikian pengetahuan tahap pertama ini memiliki sifat selalu benar, sejauh sarana untuk memperoleh pengetahuan bersifat normal atau tidak ada penyimpangan.
(b)    Pengetahuan Ilmiah
Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang telah menetapkan objek yang khas atau spesifik dengan menerapkan metodologi yang khas pula, artinya metodologi yang telah mendapatkan kesepakatan di antara para ahli yang sejenis. Kebenaran yang terkandung dalam pengetahuan  bersifat relatatif, maksudnya bahwa kandungan  kebenaran dari jenis pengetahuan ilmiah selalu mendapatkan revisi yaitu selalu diperkaya oleh hasil penemuan yang paling mutahir. Dengan demikian, kebenaran dalam pengetahuan ilmiah selalu mengalami pembaharuan sesuai dengan hasil penelitian yang paling akhir dan mendapatkan persetujuan para ahli ilmuwan sejenis.                         
(c)    Pengetahuan Filsafat
Pengetahuan filsafat, yaitu jenis pengetahuan yang pendekatannya melalui metodologi pemikiran filsafati, yang sifatnya mendasar dan menyeluruh dengan model pemikiran yang analitis, kritis, dan spekulatif. Sifatnya kebenaran yang terkandung dalam pengetahuan filsafat adalah abosolutintersubjektif. Maksudnya nilai kebenaran yang terkandung dalam jenis pengetahuan filsafat selalu merupakan pendapat yang selalu melekat pada pandangan  filsafat dari seorang pemikir filsafat itu serta selalu mendapat pembenaran dari filosof kemudian yang menggunakan metodologi pikiran yang sama pula. Jika pendapat filsafat itu di tinjau dari sisi lain, artinya dengan pendekatan filsafat yang lain sudah dapat dipastikan hasilnya akan berbeda atau bahkan bertentangan atau menghilangkan sama sekali.
(d)     Pengetahuan Kebenaran Agama
Pengetahuan agama memiliki sifat dogmatis, artinya pernyataan dalam suatu agama selalu dihampiri oleh keyakina yang telah tertentu sehinggga pernyataan dala ayat kitab suci agama memiliki nilai kebenaran sesuai dengan keyakinan yang digunakan untuk memahaminya. Implikasi dari kandungan kitab suci itu dapat berkembang secara dinamis dengan perkembangan waktu, tetapi kandungan dari ayat kitab suci tidak dapat diubah dan sifatnya absolut.

2)    Kebenaran Terkait Karakteristik dan Cara Membangun Pengetahuan
Kebenaran dikaitkan dengan sifat atau karakteristik dari bagaimana cara atau dengan alat apa s4seorang membangun pengetahuannya. Apakah ia membangun dengan pengindraan, akal pikiran atau rasio, intuisi atau keyakinan. Implikasi dari penggunaan dari alat untuk memperoleh pengetahuan melalui alat tertentu akan mengakibatkan karakteristik kebenaran yang dikandung oleh pengetahuan akan memiliki cara tertentu untuk membuktikannya, artinya jika seseorang membangunnya melalui indria, pada saat ia membuktikan kebenaran pengetahuan harus melalui indria pula, begitu pula dengan cara yang lain. Seseorang tidak dapat membuktikan kandungan kebenaran yang dibangun oleh cara intuitif, dibuktikannya dengan cara lain indriawi misalnya.
3)    Kebenaran Terkait dengan Terjadinya Pengetahuan
Kebenaran yang dikaitkan atas ketergantungan pada terjadinya pengetahuan, artinya bahwa bagaimana relasi atau hubungan antar subjek dan objek, manakah yang dominan untuk membangun pengetahuan, subjek atau objek. Jika subjek yang berperan, maka jenis pengetahuan itu mengandung nilai kebenaran yang bersifat subjektif, artinya nilai kebenaran dari pengetahuan yang dikandungnya amat tergantung pada sujek yang memiliki pengetahuan itu. Atau jika objek amat berperan amak sifatnya objektif, seperti pengetahuan tentang alam atau ilmu-ilmu alam.
2.3 Jenis-Jenis Kebenaran
    A.M.W.  Pranarka dalam Surajiyo (2008:102) menguraikan bahwa kajian dalam filsafat ilmu, membawa orang dalam kebenaran dibagi menjadi tiga jenis, yaitu: (1) kebenaran epistemological, (2) kebenaran ontological, (3) kebenaran semantikal. Kebenaran epistemological adalah pengertian kebenaran dalam hubungannya dengan manusia, Kadang-kadang disebut dengan istilah veritas cognitionis atau juga veritas logica, sedangakan kebenaran ontological adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat pada segala sesuatu yang ada ataupun diadakan. Appabila dihubungkan dengan kebenaran epistemological, kadang-kadang disebut juga kebenaran sebagai sifat dasar yang ada didalam objek pengetahuan itu sendiri. Adapun pengertian kebenaran dalam arti semantikal adalah kebenaran yang terdapat serta melekat didalam tutur bahasa dan kata. Kebenaran semantikal disebut juga kebenaran moral (veritas moralis), hal tersebut tidak tergantung apakah tutur kata atau bahasa itu menghianati atau tidak terhadap kebenaran epistemological ataupunkebenaran ontological, semua itu tergantung pada manusia yang mempunyai kemerdekaan untuk tutur kata ataupun bahasa itu.
    Surajiyo lebih lanjut menguraikan bahwa apabila epistemological terletak didalam adanya kemanunggalan yang sesuai, serasi,terpadu antara yang dinyatakan oleh proses cognitif intelektual manusia dengan apa yang sesungguhnya ada didalam objek (esse reale rei), apakah itu konkret atau abstrak, maka implikasinya adalah bahwa didalam (esse reale rei) tersebut memang terkandung sifat intelligibilitas (dapat diketahui kebenarannya). Hal adanya intelligibilitas sebagai kodrat yang melekat didalam objek,didalam benda, barang, makhluk dan sebagainya sebagai objek potensial maupun riil dari pengetahuan cognitive intelektual manusia itulah yang disebut kebenaran yang ontological, ialah sifat benar yang melekat dialam objek.
2.4 Cara Penemuan Kebenaran
    Hartono Hadi sebagaimana dikutip oleh Surajiyo (2008:100) menguraikan bahwa ada berbagai cara untuk menemukan kebenaran, dari berbagai cara untuk menemukan kebenaran itu, dapat dilihat dari cara yang paling ilmiah samapai pada non-ilmiah. Adapun berbagai cara untuk menemukan kebenran itu, antara lain: (1) Penemuan secara kebetulan, (2) Penemuan kebenaran dengan coba-coba, coba dan ralat (trial n eror), (3) Penemuan kebenaran melalui otoritas atau kewibawaan, (4) Penemuan kebenaran secara spekulatif, (5) Penemuan kebenaran lewat cara berpikir kritis dan rasional, (6) Penemuan kebenaran melalui penelitian ilmiah. Keenam hal tersebut dapat diuraikan satu persatu sebagai berikut :
(1)    Penemuan Kebenaran Secara Kebetulan
    Penemuan kebenaran secara kebetulan adalah penemuan yang berlangsung tanpa sengaja. Dalam sejarah manusia ada banyak penemuan yang didapatkan secara kebetulan atau tidak sengaja, dan hal itu akhir menjadi sesuatu yang sangat berguna bagi kehidupan umat manusia. Karena kebenaran ini tidak diperoleh melalui penelitian yang menggunakan metode tertentu, maka kebenaran jenis ini tidak dapat diterima oleh dunia.keilmuan atau dunia metode ilmiah, dengan alasan tidak dapat digunakan untuk menggali pengetahuan atau ilmu.

(2)    Penemuan Kebenaran dengan Trial  And Eror
Penemuan coba dan ralat terjadi tanpa adanya sesuatu kepastian akan berhasil atau penemuan coba dan ralat ini belum tentu akan mencapai kebenaran yang dicarinya. Memang ada aktifitas mencari kebenaran, tetapi aktifitas itu mengandung unsur spekulaitf atau ‘untung-untung’. Penemuan dengan cara ini kerap kali memerlukan waktu yang lama, karena tanpa rencana, tanpa rencana, tidak terarah, tanpa pedoman dan tidak diketahui tujauannya. Cara coba dan ralat inipun tidak dapat diterima sebagai cara ilmiah dalam usaha untuk mengungkapkan kebenaran.
(3)    Penemuan Kebenaran Melalui Otoritas atau Kewibawaan
Pendapat orang-orang memiliki otoritas (kewibawaan, pengaruh, kekuasaan), misalnya orang-orang yang memiliki kedudukan dan kekuasaan sering diterima sebagai kebenaran, meskipun pendapat itu tidak didasarkan pada pembuktian ilmiah. Pendapat itu tidak berarti tidak ada gunanya. Pendapat itu tetap berguna, terutama dalam merangsang usaha penemuan baru bagi orang-orang yang menyangsikannya. Namun demikian ada kalanya pendapat itu ternyata tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Dengan demikian pendapat pemegang otorias itu bukanlah pendapat yang berasal dari penelitian, melainkan hanya berdasarkan pemikiran yang diwarnai oleh subjektivitas.
(4)    Penemuan Kebenaran Secara Spekulatif
Penemuan kebenaran secara spekulatif mirip dengan cara coba dan ralat, akan tetapi perbedaannya dengan coba dan ralat memang ada. Seseorang yang menghadapi suatu masalah yang harus dipecahkan pada penemuan secara spekulatif, mungkin sekali ia membuat sejumlah alternative pemecahan. Kemudian ia mungkin memilih salah satu alternative pemecahan itu sekalipun ia tidak yakin benar mengenai keberhasilannya.
(5)    Penemuan Kebenaran Melalui Cara Berpikir Kritis dan Rasional
Melalui cara berpikir kritis dan rasional telah banyak mengahsilkan penemuan tentang kebenaran sesuatu. Dalam menghadapi berbagai masalah, manusia berusaha menganalisisnya berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya untuk sampai pada pemecahan masalah secara tepat. Cara berpikir yang ditempuh pada tingkat permulaan dalam memecahkan masalah adalah dengan cara berpikir analitis dan cara berpikir sintesis.
(6)    Penemuan Kebenaran Melalui Penelitian Ilmiah
Cara mencari kebenaran yang dipandang  ilmiah adalah yang dilakukan melalui penelitian. Penelitian adalah penyaluran hasrat ingin tahu pada manusia dalam taraf keilmuan. Penyaluran sampai pada taraf setinggi ini disertai oleh keyakinan bahwa ada sebab bagi setiap akibat, dan bahwa setyipa gejala yang tampak dapat dicari penjelasannya secara ilmiah. Pada setiap penelitian ilmiah melekat cirri-ciri umum, yaitu :
a)    Pelaksanaannya yang metodis harus mencapai satu keseluruhan yang logis dan koheren. Artinya, dituntut adanya system dalam metode maupun dalam hasilnya. Jadi, susunannya logis.
b)    Bersifat universal.
c)    Setiap penelitian ilmiah harus objektif, artinya terpimpin oleh objek dan tidak mengalami distorsi karena adanya pelbagai prasangka subjektif. Agar penelitian ilmiah dapat dijamin objektivitasnya, tuntutan intersubjektivitas perlu dipenuhi.
d)    Penelitian ilmiah juga harus diverifikasi oleh semua penelitian yang relevan.
e)    Prosedur penelitian harus terbuka untuk diperiksa oleh ilmuan yang lain. Oleh karena itu, penelitian ilmiah harus dapat dikomunikasikan.


2.5 Teori Kebenaran
    Surajiyo (2008:104) menguraikan bahwa perbincangan masalah “kebenaran” telah terjadi pembahasan yang serius sejak awal perkembangan pemikiran filsafat, yakni sejaka zaman kehidupan filosof Plato yang kemudian dilanjutkan oleh muridnya yang bernama Aristoteles. Plato melalui metode dialog membangaun teori pengetahuan yang cukyp lengkap sebagai teori pengetahuan yang paling awal.. Sejak itulah teori pengetahuan berkembang terus untuk mendapatkan penyempurnaan sampai sekarang. Hamersma menguraikan pandangan Jaspers sebagaimana dikutip oleh Tim Dosen Filsafat UGM (2003:138)  menyatakan sesungguhnya para pemikir sekarang ini hanya melengkapi dan menyempurnakan filsafat Plato dan filsafat Aristoteles. Teori kebenaran selalu parallel dengan teori pengetahuan-pengetahuan yang dibangunnya.. Teori-teori kebenaran yang telah berkembang itu antara lain adalah: (1) Teori Kebenaran Korespondensi, (2) teori kebenaran Koherensi, (3) teori Kebenaran Pragmatis, (4) teori Kebenaran Sintaksis, (5) teori Kebenaran Semantik, (6) teori Kebenaran Non-deskripsi, (7) teori Kebenaran Logis yang berlebihan.
1)    Teori Kebenaran Korespondensi
White dalam Tim Dosen Filsafat UGM (2003:138) menguraikan teori Kebenaran Korespondensi ini dikenal sebagai salah satu teori Kebenaran Tradisional atau teori yang berpaling tua. Juga sebagaimana pendapat Ackerman, yang menyatakan bahwa teori kebenaran korespondensi adalah teori kebenaran yang paling awal dan paling tua yang berangkat dari teori pengetahuan Aristoteles yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang kita ketahui adalah segala sesuatu yang dapat dikembalikan pada kenyataan yang dikenal oleh subjek. Surajiyo (2008:105) juga menambahkan dengan mengutip pendapat A. Hamami bahwa teori Kebenaran Saling Bersesuaian (Correspondence Theory of Truth) adalah teori kebenaran yang paling awal dan yang paling tua. Teori ini berpandangan bahwa suatu proposisi bernilai benar apabila saling bersesuaian dengan dunia kenyataan. Kebenaran demikian dapat dibuktikan secara langsung pada dunia kenyataan. Sebagai contoh: “air akan menguap jika dipanaskan hingga 100˚C, pengetahuan tersebut dinyatakan benar jika kemudian dilaksanakan percobaan dengan cara m, memanaskan air hingga 100˚C, apabila hal tersebut benar-benar terjadi, air menguap pada suhu tersebut berarti pengetahuan itu benar, jika tidak berarti pengetahuan salah.
2)    Teori Kebenaran Koherensi
White dalam Tim Dosen Filsafat UGM (2003:139) menguraikan bahwa teori kebenaran lain yang dikenal juga sebagaiteori Kebenaran Tradisional adalah Teori Kebenaran Koherensi. Teori Koherensi ini dibangun oleh para pemikir rasionalis seperti Leibniz, Spinoza, Hegel, dan Bredley. Surajiyo (2008:105) menyebut teori ini dengan teori Teori Kebenaran Saling Berhubungan (Coherence Theory of Truth), dengan mengutip pendapat Kattsoff, Surajiyo menambahkan bahwa “suatu proposisi cendrung benar jika proposisi tersebut dalam keadaan saling burhubungan dengan proposisi – proposisi lainnya yg benar. Atau jika makna yang dikandungnya dalam keadaan saling barhubungan dengan pengalaman  kita”. Pembuktian teori kebenaran koherensi dapat melalui fakta sejarah apabila merupakan proposisi sejarah, atau memakai logika apabila merupakan pernyataan yang bersifat logis. Tim Dosen Filsafat  UGM (2003:140) bahwa sebagai contoh: “kita sebagai bangsa Indonesia pasti memiliiki pebetahuan bahwa Indonesia diproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Jika seseorang hendak membuktikannya langsung melalui kenyataan dalam objrktifitasnya, karena kenyataan itu telah berlangsung 64 tahun yang lalu. Untuk membuktikannya, maka harus melalui ungkapan-ungkapan tentang fakta itu, yaitu melalui sejarah atau dapat diafirmasikan kepada orang-orang yang mengalami dan mengetahui kejadian itu. Dengan demikian kebenaran dari pengetahuan itu dapat diuji melaui kejadian-kejadian sejarah, atau juga pembuktian proposisi itu melalui hubngan logis jika pernyataan yang hendak dibuktikan kebenarannya berkaitan denganpernyataan-pernyataan yang logis atau matematis.

3)    Teori Kebenaran Pragmatis
White Tim Dosen Filsafat UGM (2003:140)  menguraikan bahwa teori Kebenaran Tradisional lainnya adalah teori kebenaran pragmatis. Paham pragmatis sesungguhnya merupakan pandangan filsafat kontemporer karena paham ini baru berkembang pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 oleh tiga filosof Amerika yaitu: C.S. Pierce, Wlliams James, dan John Dewey. Tim Dosen Filsafat UGM (2003:140) juga mengutip pendapat Kattsoff yang menguraikan bahwa teori kebenaran pragmatis ini para penganutnya meletakkan ukuran kebenaran dalam salah satu macam konsekuensi. Atau proposisi itu dapat membantu untuk mengadakan penyesuaian-penyesuaian yang memuaskan terhadap pengalaman-pengalaman, pernyataan itu adalah benar. Surajiyo (2008:106) menambahkan bahwa teori kebenaran pragmatis ini juga disebut dengan kebenaran Inherensi (Inheren Theory of Truth). Kebenaran ini berpandangan bahwa suatu proposisi bernilai benar apabila mempunyai konsekuensi yang dapat dipergunakan atau bermanfaat. Contoh dari macam kebenaran ini adalah pengetahuan naik bus. Setiap orang yang menjadi penumpang bus harus tahu bagaimana caranya naik dan bagaimana caranya turun bus. Ketika penumpang akan turun, penumpang akan memberitahukan kondektur bahwa ia akan turun, dengan cara berseru “kiri, kiri, kiri”, kemudian bus akan berhenti diposisi kiri. Dengan berhenti diposisi kiri, penumpang bisa turun dengan selamat. Melalui pengalaman setiap penumpang bus, maka secara pragmatis kebenaran pengetahuan tentang naik dan turun bus “sangat bermanfaat” dan pengetahuan tersebut terbukti kebenarannya.
4)    Toeri Kebenaran Sintaksis
Surajiyo (2008:106) menguraikan bahwa penganut Kebenaran Sintaksis atau gramatika yang dipakai oleh suatu pernyataan atau tata bahasa yabg melekat padanya. Dengan demikian suatu pernyataan memiliki nilai benar apabila pernyataan itu mengikuti aturan-aturan sintaksis yang baku. Atau dengan kata lain apabila proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang disyaratkan maka proposisi itu mempunyai arti. Teori ini berkembang diantara filososf analisis bahasa, terutama yang begitu ketat terhadap pemakaian gramatika. Misalnya: suatu kalimat standar harus ada objek dan predikat. Jika kalimat tidak ada subjek maka kalimat itu dinyatakan tidak baku atau bukan kalimat. Seperti : kalimat “semua korupsi”, ini bukan kalimat standar karena tidak memiliki subjek.
5)    Teori Kebenaran Semantik
Abbas Hamami dalam Surajio (2008:106) menggunakan istila teori Kebenaran Semantik ini sebagai Kebenaran Berdasarkan Arti ( Semantic Theory of Truth). Dalam teori Kebenaran Semantik, proposisi itu ditinjau dari segi arti atau maknanya. Setiap proposisi akan ditanyakan apakah proposisi yang merupakan pangkal tumpuan itu mempunyai referen yang jelas. Oleh sebab itu, teori ini mempunyai tugas untuk menguak kesahan dari proposisi dalam referensinya. Lebih jauh Surajiyo menguraikan bahwa teori Kebenaran Semantik dianut oleh paham filsafat Analitik Bahasa yang dikembangkan pasca filsafat Betrand Russell sebagai tokoh pemula dari filsafat Analitik Bahasa. Contoh dari penggunaan analisis Kebenaran Semantik, yaitu: kata filsafat secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata philosophia  yang berarti ‘cinta akan kebijaksanaan’. Pengetahuan tersebut dinyatakan benar jika ada referensi yang jelas. Jika tidak mempunyai referensi yang jelas, maka pengetahuan itu dinyatakan salah.
6)    Teori Kebenaran Non-deskripsi
Teori Kebenaran Non-deskripsi dikembangkan oleh para penganut paham filsafat fungsionalisme. Karena pada dasarnya suatu pernyataan itu akan mempunyai nilai benar yang amat tergantung pada peran dan fungsi pernyataan itu. Tim Dosen Filsafat UGM (200:143) menyatakan bahwa pengetahuan dalam teori Kebenaran Non-deskripsi akan memiliki nilai benar sejauh pernyataan itu memiliki fungsi yang amat praktis dalam kehidupan sehari-hari.
7)    Teori Kebenaran Logik yang Berlebihan
Tim Dosen Filsafat UGM (2003:143) menguraikan bahwa teori Kebenaran Logik yang Berlebihan (Logical-Superfluity Theory of Truth) ini dikembangkan oleh para penganut paham Filsafat Positivistik yang diawali oleh Ayer. Lebih Lanjut Tim Dosen Filsafat UGM (2003:140) mengutip pendapat Gallagher (1984) yang menyatakan bahwa pada dasarnya menurut teori kebenaran ini, bahwa problem kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan hal ini akibatnya merupakan suatu pemborosan, karena pada dasarnya apa “pernyataan” yang hendak dibuktikan kebenarannya memiliki derajat logic yang sama, yang masing-masing saling melingkupinya. Dengan demikian, sesungguhnya setiap proposisi yang bersifat logic dengan menunjukkan bahwa proposisi itu mempunyai isi yang sama, memberikan informasi yang sama, dan semua orang sepakat, maka apabila kita membuktikannya lagi hal yang demikian itu,  hanya merupakan bentuk logis yang berlebihan. Hal yang demikian itu sesungguhnya karena suatu pernyataan yang hendak dibuktikan nilai kebenarannya sesungguhnya telah merupakan fakta atau data yang telah memiliki evidensi, artinya bahwa objek-objek pengetahuan itu sendiri telah menunjukkan kejelasan dalam dirinya sendiri. Contoh tentang teori Kebenaran Logik yang Berlebihan ini adalah sebagai berikut: “suatu lingkaran adalah bulat, ini telah member kejelasan dalam pernyataan itu sendiri, tidak perlu diterangkan lagi. Sebab pada dasarnya lingkaran adalah suatu yang terdiri dari rangkaian, gabungan (himpunan) dari titik yang jaraknya sama dengan satu titik tertentu yang kemudian membentuk lintasan melingkar, sehingga titik awal bertemu dengan titik akhir sehingga berupa garis yang bulat.

2.6 Sifat Kebenaran Ilmiah
    Tim Dosen Filsafat UGM (2003:144) menguraikan bahwa kebenaran ilmiah muncul dari hasil penelitian ilmiah. Artinya bahwa suatu kebenaran tidak mungkin muncul tanpa adanya prosedur baku yang harus dilaluinya. Prosedur baku yang harus dilalui itu adalah tahap-tahap untuk memperoleh pengetahuan ilmiah yang pada hakikatnya berupa teori metodologi ilmiah yang telah baku sesuai dengan sifat dasar ilmu. Maksudnya adalah bahwa setiap ilmu secara tegas menetapkan jenis objek secara ketat apakah objek itu berupa hal konkret atau abstrak. Setiap ilmu menetapkan langkah-langkah ilmiah sesuai dengan objek yang dihadapinya.
    Kebenaran ilmu adalah kebenaran objektif, artinya bahwa kebenaran suatu teori atau lebih tinggi lagi aksioma atau paradigm, harus didukung oleh fakta-fakta berupa kenyataan oleh objektivanya. Kebenaran ilmiah adalah kebenaran yang benar-benar lepas dari keinginan subjek, dan kenyataan yang dimaksud adalah kenyataan berupa suatu yang dapat dipakai acuan atau kenyataan yang pada mulanya merupakan objek dalam pembentukan pengetahuan ilmiah itu. Kebenaran ilmu selalu mengacu pada status ontologis objek, sehingga pada dasarnya kebenaran ilmu dapat digolongkan dalan dua jenis teori, yaitu teori Kebenaran Korespondensi atau teori Kebenaran Koherensi. Ilmu-ilmu kealaman pada umumnya menuntut kebenaran korespondensi, karena fakta-fakta objektif amat dituntut dalam pembuktian terhadap setiap proposisi atau pernyataan. Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu kemanusiaan, ilmu-ilmu sosial, ilmu logika, dan matematika. Ilmu-ilmu tersebut menuntut konsistensi dan koherensi diantara proposisi-proposisi, sehingga pembenaran bagi ilmu-ilmu itu mengikuti teori kebenaran koherensi.
    Hal yang cukup penting dan perlu mendapat perhatian dalam hal kebenaran adalah bahwa kebenaran ilmu harus selalu merupakan hasil persetujuan atau konvensi dari para ilmuan pada bidangnya. Para ilmuan ini pada umumnya mereka adalah para sarjana. Karena itu sifat kebenaran ilmu memiliki sifat universal sejauh kebenaran ilmu itu dapat dipertahankan. Pernyataan tersebut karena kebenaran ilmu harus selalu merupakan kebenaran yang disepakati dalam konvensi, maka keuniversalan sifat ilmu masih dibatasi oleh penemuan-penemuan baru atau penemuan lain yang hasil menolak hasil penemuan terdahulu atau bertentangan sama sekali. Jika hal ini terjadi, maka dibutuhkan penelitian ulang secara mendalam.  Apabila hasil penelitian berikutnya benar-benar berbeda, maka kebenaran yang lama harus diganti dengan penemuan baru, atau kedua-duanya berjalan bersama dengan kekuatan dan kebenarannya masing-masing. Sebagai contoh, adalah peralihan teori tentang pusat alam raya dari bumi menjadi matahari,dsb.
   

2 komentar:

  1. bagus informasinya, mau dong contoh lain tentang teori kebenaran semantik. makasih

    BalasHapus
  2. terimakasih karena ini saya dapat pengetahuan lagi🙏

    BalasHapus